Saat memandangi langit malam yang penuh bintang, semuanya tampak dekat, seolah-olah cukup dijangkau dengan tangan. Namun kenyataannya, bintang-bintang dan galaksi di luar angkasa berada pada jarak yang sangat jauh, bahkan tak terbayangkan. Mengetahui seberapa jauh suatu objek di ruang angkasa ternyata sangat penting.
Informasi ini membantu para ilmuwan memahami ukuran benda langit, usianya, serta bagaimana alam semesta terus berkembang. Pertanyaannya adalah: bagaimana mungkin manusia bisa mengukur sesuatu yang tak bisa dikunjungi langsung? Ternyata, para ilmuwan memiliki sejumlah cara cerdas dan inovatif untuk melakukannya.
Langkah Awal: Parallax, Teknik Sederhana nan Canggih
Salah satu metode paling awal dan paling sederhana yang digunakan untuk mengukur jarak ke bintang terdekat adalah teknik yang dikenal dengan nama parallax. Prinsipnya mirip dengan cara mata manusia memperkirakan jarak.
Coba ulurkan jari ke depan wajah, lalu tutup satu mata secara bergantian. Inilah prinsip yang digunakan para astronom. Mereka mengamati posisi sebuah bintang dari dua titik berbeda, yang dipisahkan oleh waktu enam bulan, saat Bumi berada di sisi berlawanan dari orbitnya mengelilingi Matahari.
Perubahan kecil posisi bintang terhadap latar belakang bintang yang lebih jauh memungkinkan penghitungan jarak menggunakan geometri sederhana. Meski sangat akurat, teknik ini hanya efektif untuk bintang yang cukup dekat dengan Bumi.
Melangkah Lebih Jauh Lewat Cahaya Bintang
Untuk bintang yang terlalu jauh untuk diukur dengan parallax, para ilmuwan menggunakan tingkat kecerahannya sebagai petunjuk. Beberapa bintang, seperti Cepheid variables, memiliki pola denyut cahaya yang sangat teratur. Hubungan antara periode denyut dan kecerahan sejatinya dari bintang ini telah dipahami dengan baik.
Jika bintang semacam ini terlihat di sistem bintang yang sangat jauh, kecerahan yang tampak di langit bisa dibandingkan dengan kecerahan aslinya. Dari sana, jarak bintang bisa dihitung. Ibaratnya seperti melihat lampu mobil dari kejauhan: semakin redup terlihatnya, semakin jauh jaraknya.
Supernova: Ledakan Cahaya yang Jadi Penanda Jarak
Ada satu lagi alat ukur alami yang sangat membantu, yaitu supernova tipe Ia. Ledakan dari jenis supernova ini selalu memiliki tingkat kecerahan yang hampir sama, menjadikannya seperti "lilin standar" di ruang angkasa.
Ketika ledakan semacam ini terlihat di galaksi yang jauh, tingkat kecerahannya bisa digunakan untuk menghitung seberapa jauh galaksi itu berada. Teknik ini telah digunakan untuk mengukur jarak hingga miliaran tahun cahaya, membuka jendela menuju masa lalu alam semesta.
Redshift: Ketika Cahaya Memberi Petunjuk
Ketika cahaya menempuh jarak sangat jauh di ruang angkasa, panjang gelombangnya mengalami peregangan jika objek sumber cahayanya menjauh. Fenomena ini membuat cahaya tampak lebih merah, disebut redshift.
Semakin jauh galaksi dari Bumi, semakin besar redshift yang diamati. Dengan mengukur seberapa besar pergeseran warna merah ini, para astronom bisa memperkirakan kecepatan gerak galaksi tersebut dan sekaligus jaraknya. Metode ini sangat penting untuk objek-objek yang terlalu jauh untuk diukur menggunakan parallax atau kecerahan.
Tangga Kosmik: Menyusun Langkah Demi Langkah Jarak Alam Semesta
Berbagai teknik di atas tidak berdiri sendiri. Justru, mereka saling melengkapi dalam sesuatu yang disebut tangga jarak kosmik. Dimulai dari paralaks untuk bintang terdekat, lalu dilanjutkan ke Cepheid, supernova, hingga redshift untuk galaksi yang paling jauh.
Ibaratnya seperti menggunakan penggaris yang semakin panjang setiap kali dibutuhkan. Dari satu langkah kecil, manusia bisa mengukur hingga batas tepi alam semesta yang bisa diamati.
Berkat teknik-teknik ini, para ilmuwan kini bisa mengukur jarak hingga ke galaksi yang letaknya lebih dari 13 miliar tahun cahaya dari Bumi. Artinya, cahaya dari galaksi tersebut mulai melakukan perjalanannya ketika alam semesta baru berusia beberapa ratus juta tahun. Dalam istilah lain, kita sedang menyaksikan masa lalu yang sangat jauh hanya dengan menatap langit malam.