Di dunia medis, sering kali muncul fenomena membingungkan yang membuat para tenaga kesehatan mengernyitkan dahi, pasien datang dengan keluhan fisik yang nyata, menyiksa, dan terus berulang, tetapi hasil pemeriksaan medis tidak menunjukkan adanya kelainan.
Gejala-gejala ini dikenal sebagai Medically Unexplained Symptoms (MUS) atau Gejala medis yang tak terjelaskan.
MUS bukanlah hal sepele. Gejala seperti nyeri kronis, kelelahan berat, pusing, atau gangguan pencernaan bisa sangat mengganggu aktivitas harian seseorang, meski tidak ditemukan penyebab fisik yang jelas. Yang membuat kondisi ini semakin rumit adalah kenyataan bahwa penderita MUS bukan hanya menghadapi rasa sakit, tetapi juga kebingungan, stigma, dan ketidakpastian tentang kondisi mereka.
Menurut Dr. Arya B. Mohabbat, seorang ahli penyakit dalam, "MUS termasuk kondisi yang paling menantang karena berada di batas antara tubuh dan pikiran, melampaui kerangka diagnosa medis konvensional." Kondisi ini memang tidak cocok dengan model biomedis tradisional yang biasanya mencari satu penyebab utama. Sebaliknya, MUS sering kali mencerminkan interaksi kompleks antara faktor biologis, psikologis, dan sosial.
Kemajuan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa gejala yang tidak dapat dijelaskan secara medis sering kali berasal dari mekanisme yang melibatkan sistem saraf, respons imun, dan kondisi psikologis. Salah satu mekanisme yang banyak dibahas adalah central sensitization, yakni kondisi ketika sistem saraf menjadi terlalu responsif terhadap rangsangan. Dalam kondisi ini, sensasi tubuh normal bisa terasa menyakitkan atau mengganggu secara berlebihan.
Hal ini menjelaskan mengapa beberapa orang merasakan gejala yang tidak dirasakan oleh orang lain. Dr. Susan H. McDaniel, seorang pakar dalam bidang kedokteran psikosomatik, mengungkapkan, "Tubuh dan pikiran kita saling berkomunikasi dalam sebuah siklus yang terus berlangsung. Stres, emosi, dan pola pikir memengaruhi sensasi fisik, dan sebaliknya. Inilah yang menciptakan pengalaman gejala yang kompleks dan sulit dijelaskan secara sederhana."
Tidak bisa dipungkiri, kondisi emosional seperti kecemasan, depresi, atau ketakutan berlebihan terhadap kesehatan memiliki pengaruh besar terhadap persepsi gejala. Salah satu konsep yang relevan adalah somatosensory amplification, yaitu kecenderungan untuk terlalu fokus pada sensasi tubuh dan mengartikannya secara negatif.
Kondisi ini sering kali diperburuk oleh perilaku maladaptif, seperti menghindari aktivitas sosial atau fisik, yang justru memperkuat siklus gejala. Yang penting untuk diingat, gejala-gejala ini bukanlah hal yang "dibuat-buat" atau "semata-mata psikologis". MUS mencerminkan kenyataan biopsikososial, di mana tubuh dan pikiran terikat dalam satu sistem yang saling memengaruhi.
Sebuah studi menyoroti bahwa untuk memahami MUS secara menyeluruh, perlu meninggalkan pola pikir lama yang memisahkan tubuh dan pikiran. Dibutuhkan pendekatan yang mengakui bahwa pikiran, emosi, dan proses fisiologis saling berinteraksi dalam menciptakan pengalaman gejala.
Tidak adanya penanda biologis yang jelas untuk MUS sering membuat proses diagnosa menjadi rumit dan memicu rasa frustrasi, baik dari pihak pasien maupun tenaga medis. Pemeriksaan berlebihan bisa menyebabkan prosedur yang tidak perlu dan justru menimbulkan efek samping. Sebaliknya, jika gejala tidak dikenali dengan baik, pasien bisa merasa diabaikan atau dianggap berlebihan.
Para ahli kini menyarankan pendekatan kolaboratif yang berfokus pada pasien. Pendekatan ini menekankan pentingnya membangun pemahaman bersama antara pasien dan tenaga medis, serta menyusun penjelasan yang masuk akal berdasarkan pengalaman unik setiap individu.
Rencana penanganan yang melibatkan berbagai metode terbukti memberikan hasil yang lebih baik. Kombinasi antara fisioterapi, intervensi psikologis seperti terapi kognitif-perilaku, dan perubahan gaya hidup, termasuk teknik relaksasi dan manajemen stres telah menunjukkan harapan dalam mengurangi intensitas dan dampak gejala.
Studi terbaru tahun 2025 yang dipimpin oleh Dr. Michael R. Mueller menunjukkan bahwa pendekatan berbasis bukti yang menyasar central sensitization, serta penggunaan teknik mindfulness dan penguatan ketahanan mental, dapat memutus siklus kronis gejala.
Sampai kini, dunia medis masih terus berupaya mengembangkan alat diagnostik yang lebih sensitif dan terapi yang lebih tepat sasaran untuk MUS. Namun, langkah awal yang paling penting adalah pengakuan terhadap penderitaan nyata yang dialami para pasien. Memahami bahwa gejala-gejala ini bukanlah hasil imajinasi, melainkan ekspresi kompleks dari sistem tubuh dan pikiran yang saling terhubung, merupakan kunci utama dalam membangun kepercayaan dan efektivitas dalam penanganan.