Bayangkan sebuah dunia di mana makhluk raksasa seperti mamut berbulu berkeliaran tenang di padang luas, dikelilingi gema samar dari harimau bertaring tajam yang pernah menguasai zaman es. Di atas langit biru yang cerah, seekor burung unik yang pernah dinyatakan punah kini mengepakkan sayapnya kembali.
Ini bukan adegan dari film fiksi ilmiah, melainkan visi nyata yang tengah diwujudkan oleh ilmuwan masa kini. Dunia yang dulu hanya bisa dibayangkan, kini perlahan menjadi kenyataan, era di mana kepunahan hanyalah sebuah jeda, bukan akhir dari segalanya.
Selama berabad-abad, kepunahan dianggap sebagai garis akhir bagi spesies yang tidak mampu bertahan. Namun, abad ke-21 membawa angin perubahan. Teknologi seperti pengeditan gen CRISPR, biologi sintetis, dan genomika komparatif membuka peluang baru: menghidupkan kembali spesies yang telah lama hilang dari muka bumi.
De-extinction bukan tentang mengkloning fosil tua. Sebaliknya, para ilmuwan memetakan ulang kode genetik spesies punah, lalu merekayasanya melalui kerabat dekat yang masih hidup. Dengan pendekatan ini, mereka bisa "membangun ulang" makhluk masa lalu menggunakan fondasi biologis zaman sekarang. Perpaduan antara ilmu pengetahuan, teknologi, dan sejarah ini kini telah keluar dari ranah teori dan mulai menjadi kenyataan.
Salah satu pelopor dalam revolusi ini adalah Colossal Biosciences, perusahaan bioteknologi yang didirikan oleh ahli genetika dari Harvard, George, bersama pengusaha visioner Ben Lamm. Tahun 2025, dunia dikejutkan oleh kelahiran tiga anak serigala yang terinspirasi dari serigala purba: Romulus, Remus, dan Khaleesi.
Alih-alih mengandalkan DNA utuh dari fosil, para peneliti mengubah embrio serigala abu-abu dengan menyisipkan rangkaian gen yang diyakini mewakili ciri khas serigala zaman es, kekuatan rahang, ukuran tubuh, dan bulu tebal tahan cuaca dingin. Dengan bantuan kecerdasan buatan, mereka mampu memetakan gen kuno secara presisi dan membentuk makhluk yang menyerupai pendahulunya di zaman prasejarah.
Ketiga anak serigala ini memang bukan replika sempurna dari leluhur mereka, namun mereka adalah interpretasi biologis paling mendekati yang pernah diciptakan manusia. Jejak masa lalu, kini bisa berjalan di tanah modern.
Misi Colossal tidak berhenti pada serigala. Mereka juga tengah berupaya membangkitkan ikon lain dari zaman prasejarah:
- Mamut Berbulu Tebal: Dengan menggabungkan DNA mamut dan gajah Asia modern, para ilmuwan ingin menciptakan hibrida tahan cuaca dingin yang bisa hidup di kawasan tundra. Tujuannya bukan hanya menghidupkan kembali spesies legendaris, tapi juga membantu menyerap karbon dan memulihkan ekosistem Arktik yang rapuh.
- Burung Dodo: Spesies khas dari Mauritius ini pernah punah akibat aktivitas manusia. Kini, melalui teknologi kultur sel dan transfer embrio, para peneliti berambisi menghidupkannya kembali dan melepasliarkan dodo di habitat pulau yang dikendalikan secara ketat.
Gerakan ini dikenal sebagai "de-extinction untuk konservasi" bukan sekadar membangkitkan makhluk yang hilang, tetapi juga memulihkan keseimbangan ekosistem yang sempat runtuh akibat hilangnya spesies kunci.
Colossal bukan satu-satunya yang bergerak dalam bidang ini. Di berbagai belahan dunia, muncul inisiatif serupa yang ikut mendorong kebangkitan spesies punah:
- Revive & Restore (Amerika Serikat): Fokus pada upaya menghidupkan kembali burung merpati penumpang dan mendukung spesies yang terancam punah melalui rekayasa genetika.
- NEO-MEX (Meksiko): Mengembangkan teknologi untuk memulihkan burung dan amfibi khas Meksiko menggunakan bank DNA dan rekayasa genetik.
- The Lazarus Project (Australia): Sempat mencuri perhatian dunia setelah berhasil menghidupkan kembali embrio katak unik yang sudah punah.
Jejak langkah mereka menandakan munculnya industri baru, industri yang bisa menjadi kunci masa depan pelestarian keanekaragaman hayati.
Dalam proyek berskala besar seperti ini, peran kecerdasan buatan sangat vital. AI digunakan untuk:
- Menganalisis dan membandingkan genom purba dengan spesies modern.
- Memprediksi bagaimana gen tertentu akan memengaruhi bentuk fisik makhluk hidup.
- Menyimulasikan dampak ekologis dari spesies yang dihidupkan kembali terhadap lingkungan saat ini.
AI bertindak sebagai arsitek diam-diam yang memastikan proyek ini berjalan dengan akurat dan berkelanjutan.
De-extinction bukan solusi instan untuk semua kerusakan lingkungan. Ia tidak bisa menggantikan hutan yang ditebangi, sungai yang tercemar, atau es kutub yang mencair. Upaya ini juga tidak boleh mengalihkan perhatian dari spesies yang saat ini sedang berada di ambang kepunahan. Namun, jika dilakukan secara hati-hati dan bertujuan jelas, de-extinction bisa menjadi alat penting dalam menyembuhkan luka ekologi, mendorong inovasi genetika, dan memperluas pemahaman manusia terhadap alam. Ini bukan tentang memutar waktu, tetapi membangun masa depan dengan pelajaran dari masa lalu.