Resistensi insulin adalah gangguan metabolik serius yang terjadi ketika sel-sel tubuh tidak lagi merespons insulin secara efektif.
Akibatnya, tubuh mengalami kesulitan dalam menyerap glukosa dari darah, menyebabkan kadar gula darah meningkat dan tubuh memproduksi insulin secara berlebihan.
Kondisi ini menjadi biang keladi dari berbagai penyakit kronis, termasuk diabetes tipe 2, gangguan jantung, dan penumpukan lemak di hati.
1. Faktor Genetik: Warisan yang Tak Terhindarkan
Beberapa orang mewarisi mutasi genetik langka yang mengganggu kerja reseptor insulin atau protein penting seperti GLUT4 yang seharusnya membantu glukosa masuk ke dalam sel. Selain itu, varian gen tertentu, seperti yang ditemukan pada gen NAT2, dikaitkan dengan penurunan sensitivitas insulin, bahkan pada individu dengan berat badan normal.
2. Kerusakan Sinyal di Dalam Sel
Mayoritas kasus resistensi insulin tidak terjadi karena insulin tidak bisa menempel pada reseptornya, tapi karena kerusakan jalur sinyal setelah insulin masuk. Ketika sinyal ini gagal, transporter glukosa tidak bergerak ke permukaan sel, sehingga glukosa tetap berada dalam aliran darah dan tidak masuk ke sel tempat ia dibutuhkan.
Obesitas, khususnya penumpukan lemak di perut (lemak visceral), menjadi penyebab paling umum dari resistensi insulin yang diperoleh. Lemak ini bukan hanya tempat penyimpanan energi, tapi juga aktif secara biologis. Ia menghasilkan zat-zat seperti adipokin dan sitokin inflamasi yang mengganggu kerja insulin.
Selain itu, akumulasi lemak di organ vital seperti hati dan otot juga berbahaya. Lemak di tempat yang tidak seharusnya ini membentuk zat beracun seperti diasilgliserol dan ceramida yang merusak fungsi insulin secara langsung.
Kurang Gerak
Tubuh manusia dirancang untuk bergerak. Ketika aktivitas fisik berkurang, sensitivitas insulin di otot juga ikut menurun. Sebaliknya, olahraga secara teratur bisa secara langsung meningkatkan kemampuan sel otot dalam merespons insulin, bahkan hanya dalam satu sesi latihan.
Pola Makan Berlebihan dan Tak Seimbang
Konsumsi makanan tinggi kalori, terutama yang kaya akan karbohidrat olahan dan lemak jenuh, memperparah resistensi insulin. Pola makan seperti ini menyebabkan kenaikan berat badan, merangsang produksi insulin secara berlebihan, dan mempercepat gangguan metabolik.
Penuaan
Seiring bertambahnya usia, tubuh secara alami mengalami penurunan fungsi mitokondria (pabrik energi sel), kehilangan massa otot, dan produksi GLUT4 yang menurun, semuanya berkontribusi terhadap resistensi insulin.
Pengaruh Obat-Obatan Tertentu
Beberapa jenis obat seperti kortikosteroid, obat imunosupresif, dan terapi tertentu dapat menghambat kerja insulin, baik di reseptor maupun di jalur sinyal dalam sel.
Stres Kronis
Stres berkepanjangan memicu pelepasan hormon seperti kortisol dan epinefrin yang merangsang pelepasan glukosa ke darah. Dalam jangka panjang, kondisi ini menyebabkan tubuh memproduksi insulin terus-menerus, yang justru memperburuk resistensi insulin.
Menurut ahli metabolisme Dr. Robert Lustig, hormon stres dapat meningkatkan kadar insulin sekaligus memperparah penumpukan lemak di tubuh. Sementara itu, Dr. David Ludwig menegaskan bahwa resistensi insulin bukanlah kondisi permanen. Dengan perubahan gaya hidup yang tepat, sel-sel tubuh dapat kembali merespons insulin dengan baik.
Peradangan tingkat rendah yang berlangsung terus-menerus, sering kali disebabkan oleh kelebihan lemak tubuh atau penyakit sistemik, menyebabkan sel-sel imun menyerbu jaringan metabolik seperti hati dan otot. Zat peradangan ini tidak hanya mengganggu jalur insulin, tapi juga merusak mitokondria, penghasil energi dalam sel. Akibatnya, sel menjadi lemah dan tidak mampu merespons insulin secara optimal.
Resistensi insulin bukanlah penyakit yang berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari kombinasi rumit antara genetik, gaya hidup, lingkungan, dan gangguan di tingkat sel. Faktor utama seperti obesitas, kurang aktivitas fisik, pola makan tinggi olahan, peradangan, dan efek samping obat harus diwaspadai sebagai penyebab utamanya.
simak video " resistensi insulin"
video by " dr Hendri Andreas"